15 September 2009

Oleh AEP KUSNAWAN

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina” (QS Al-Mu'min [23]: 60).

BULAN Ramadan selain bulan ampunan, bulan pembakaran dosa, juga bulan diijabahnya doa. Pada bulan ini, orang yang berpuasa akan diberi kemudahan mengetengahkan keinginan dan harapannya kepada sang Khalik. Ibadah puasa, kata Rasulullah Saw., diperuntukkan untuk Allah Swt., dan Dialah yang akan memberikan kemudahan.

Doa dan keimanan sangat terkait erat bagai dua sisi mata uang koin. Berdoa dan keimanan seseorang tak dapat dipisahkan. Sebab, berdoa merupakan salah satu kegiatan ibadah yang biasa dilakukan orang beriman. Sebaliknya, hanya mereka yang beriman, dalam arti percaya akan keberadaan Allah, yang senantiasa berdoa. Tanpa keyakinan pada Allah, seseorang tidak akan pernah berdoa. Itulah sebabnya Nabi menggambarkan doa sebagai intinya (saripati ) ibadah (mukhul ibadah).
      Jadi, doa merupakan tanda eksisnya keimanan, sebagai bentuk pengakuan atas segala keterbatasan kemampuan dalam melakukan apapun di dunia ini. Berdoa merupakan salah satu perbuatan ibadah. Melalui rangkaian firman-Nya dalam Al-Quran, Allah memerintahkan setiap manusia untuk senantiasa meminta, memohon, berdoa (hanya) kepada Allah.
      Berdoa merupakan salah satu bentuk ibadah yang diperintahkan oleh Allah. Ia (doa) merupakan unsur yang melengkapi keutuhan beribadah seseorang. Sebab, dengan berdoa, seseorang telah meyakini sepenuhnya eksistensi Allah yang menjadi segala titik pusat perhatian segala tindak beribadah. Nabi Muhammad Saw., bersabda, “Doa sebagai senjata bagi orang-orang yang beriman,dan tiangnya agama serta cahaya langit dan bumi ” (HR. Hakim dan Abu Ya'la).
      Sebagai inti ibadah, doa merupakan seruan kepada Allah, yang merupakan titik sentral dalam kesadaran manusia untuk beribadah kepada-Nya. Maka Allah pun menghargai doa seseorang, sebagaimana Rasulullah bersabda, “Tidak ada satupun (amal hati) yang lebih mulia pada pandangan Allah dari pada doa.” Berdoa merupakan salah satu bentuk pengakuan kita sebagai orang yang beriman atas segala kemahakuasaan Allah.
      Sebab, dalam segala bentuk ihktiar yang dilakukan manusia, terdapat aspek keterlibatan Allah. Dengan demikian, doa secara sederhana, dapat dipandang sebagai usaha kita untuk memperoleh kesesuain antara pilihan-pilihan tindakan yang dilakukan dengan kehendak Allah. Karena itu doa kita menjadi tidak berarti apa-apa tanpa diikuti oleh usaha nyata sesuai dengan kehendak, seperti apa yang tersurat atau tersirat dalam doa yang dibaca.
      Sepintas doa terkesan berseberangan dengan konsep usaha (ikhtiar) yang diperintahkan oleh Allah. Berdoa sering digambarkan sebagai upaya menyerah (fatalistik) untuk menghindari beban usaha yang tidak mampu diusahakan. Padahal berdoa justru merupakan unsur pelengkap yang dapat memperkokoh proses ikhtiar yang dilakukan oleh kita. Dalam bahasa lain, doa merupakan ikhtiar spiritual dan penyemangat untuk mencapai apa yang diharapkan. Ia juga merupakan energi yang sangat hebat sebagai pembangkit harapan, semangat, serta jaminan untuk meraih apa yang diharapkan.
      Doa juga banyak dikaji dari berbagai perspektif. Salah-satunya dari aspek kesehatan, aktivitas, kreativitas dan produktivitas. Kita yang biasa berdoa merupakan sosok yang sehat jiwa. Kita akan memiliki harapan, tumpuan dan pelindung. Kita juga akan memiliki wawasan, pandangan dan jangkauan yang luas. Sebab dengan berdoa, berarti kita meyakini diri kita dekat dengan yang Maha segalanya, Allah SWT. Dalam kreativitas yang kita miliki, ada yang lebih Maha kreatif. Di balik rencana yang diprogramkan juga, meyakini bahwa ada yang Maha merencanakan. Di balik produktivitas yang kita hasilkan ada yang lebih Maha Menciptakan.
      Oleh karena itu, kita akan senantiasa memiliki kedewasaan, penuh imajinasi, ide, dan alat kontrol yang tinggi. Allah pasti akan menjawab semua permintaan orang yang mendekat kepada Allah, meskipun di luar jangkauan logika. Seperti saat Nabi Zakaria a.s mengharapkan sesuatu di luar perhitungan logika manusia. Bagaimana mungkin, Zakaria a.s ingin mempunyai anak, padahal dia sudah cukup lanjut usia, dan istrinya pun dalam keadaan mandul.
      Dengan kepasrahan total pada Zat yang Maha Mendengar, Zakaria a.s berdoa: “Tuhanku, aku cemas bila kelak sepeninggalku, tak ada keturunan yang mewarisiku. Tapi, istriku mandul dan aku pun sudah terlalu tua. Namun begitu, ya Rabbi, anugerahilah aku seorang anak”(QS Maryam [19]: 5).
      Di luar kemampuan akal manusia, Allah SWT mendengar rintihan doa Nabi Zakaria a.s. Kondisi biologis seperti yang dikeluhkan Zakaria a.s, bukan alasan untuk tidak mempunyai keturunan. Kemudian, dia diberi-Nya seorang anak bernama Yahya, yang juga menjadi Nabi bagi umat pada zamannya. Peristiwa ini diceritakan ulang dalam Al-Quran, surat Maryam ayat 5-7.
      Meskipun tidak seperti “lampu aladin”, doa akan tetap membuahkan makna bagi mereka yang mampu menggapai hakikat hubungan antara dirinya dan Allah. Begitu juga dengan kita, jika ingin mendapatkan berkah kemuliaan di bulan suci Ramadan, rajinlah berdoa. Bukan hanya karena kewajiban, tetapi karena kita membutuhkannya. Berdoalah dengan ikhlas, khusuk, dan tidak putus-asa. Insyaallah bulan Ramadan akan menjadi bulan berkah dan saat diijabahnya doa. Wallahua'lam  
Penulis, Mahasiswa S.3 Pendidikan Islam, Pasca Sarjana UIN SGD Bandung. Staf Pengajar pada Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.




2 Comments:

  1. Sukron Abdilah said...
    hmm...asyik juga tulisannya pak!
    Badru Tamam Mifka said...
    Assalamu 'alaikum ka sadayana warga BPI :)

Post a Comment