01 Oktober 2009

Oleh Drs. Enjang AS, M.Si, M.Ag

Bimbingan Islam (Irsyad) merupakan salah satu bentuk kegiatan dakwah, yaitu suatu proses penyampaian ajaran Islam oleh seorang mursyid (da’i) kepada seorang mursyad bih (mad’u) atau kepada mad’u dalam kelompok kecil (jamaah) guna memberikan bantuan berupa pengasuhan dan perawatan mengenai aspek kejiwaan mursyad bih (mad’u). Istilah irsyad secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 19 (sembilan belas) kali dalam 9 (sembilan) bentuk kata.

Sembilan bentuk kata tersebut sebagaimana dapat dilihat pada Q.S. Al-Baqarah:186, 256; Al-A’raf:146; Al-Jin:2, 10, 14, 21; Al-Nisa:6; Al-Kahfi:2, 10, 17, 24; Al-Anbiya:51; Ghafir: 29, 38; Al-Hujarat:7; Hud: 97 dan lihat Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi, Al-Mujam al-Mufahrats li Alfadz al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, tt, 320-321.

Menurut Fakhruddin (1994: 16-17), bentuk asal kata irsyad adalah al-irsyad berarti petunjuk, kebenaran ajaran, dan bimbingan dari Allah Swt. yang mengandung suasana kedekatan antara pemberi dan penerima al-Irsyad, dan menurut al-Masudi, bahwa irsyad berarti menunjukkan kebenaran ajaran dan membimbing orang lain dalam menjalankannya yang berlangsung dalam suasana tatap muka dan penuh keakraban. Dalam perspektif ilmu dakwah proses irsyad berlangsung dalam konteks dakwah nafsiah, fardiyah dan fi’ah.

Menurut Syukriadi Sambas (1994: 87), pesan pesan irsyad dapat disampaikan melalui bentuk ahsanu qaulan dan ahsanu amalan, yang pertama cara penyampaian pesan irsyad dengan menggunakan bahasa yang baik dan yang kedua dengan menggunakan perbuatan yang baik. Bentuk ahsanu qaulan dan ahsanu amalan dalam menyampaikan pesan bimbingan.

Islam menurut Ya’qub (1987:138-148) terbagii menjadi sembilan macam, yaitu: (1) metode graduasi (al-tadaruj); (2) metode levelisasi (muraat almustawayat); (3) metode variasi (al-tanwi wa al-taghayir); (4) metode keteladanan (al-Uswah wa al-qudwah); (5) metode aplikatif (al-tathbiqi wa al-amali); (6) metode pengulangan (al-Takrir wa al-muraja’ah); (7) metode evaluasi (altaqyim); (8) metode dialog (hiwar); dan (9) metode cerita atau kisah (al-Qishahs).

Sedangkan menurut Al-Khuli (1969:18-22), metode irsyad (thuruq al-irsyad) sebenarnya banyak, namun yang paling penting dan terkenal terdapat lima macam metode yaitu (1) metode khithabah; (2) metode dars (pengajaran); (3) metode tamtsil (perumpamaan); (4) metode uswah shalihah (keteladanan perilaku yang baik); dan (5) metode kitabah (tulisan).

Kaitannya dengan metode yang digunakan dalam proses bimbingan Islam (Irsyad) sebagaimana dinyatakan oleh ketiga pakar tersebut di atas, terutama mengenai ahsanu qaulan, yang secara prinsipil al-Qur’an memberikan acuan mengenai penggunaan bahasa (ahsanu qaulan) dalam penyampaian pesan irsyad, yaitu: (1) Qawlan ma’rufa (al-Baqarah:59) yaitu bahasa yang populer; (2) Qawlan sadida (Al-Nisa:9), yaitu bahasa persuasif; (3) Qawlan baliga (al-Nisa:63) yaitu bahasa yang tepat situasi dan kondisi; (4) Qawlan karima (al-Irsa:23), yaitu bahasa yang mulia; (5) Qawlan maesyura (al-Isra:28) yaitu bahasa yang mudah dipahami; (6) Qawlan adzima (al-Isra:40) yaitu bahasa yang agung; (7) Qawlan layina (thaha:44) yaitu bahasa yang lemah lembut; (8) salamun Qawlan (Yasin:58) yaitu bahasa kedamaian; (9) Qawlan tsaqila (al-Muzamil:5) yaitu bahasa yang berbobot; (10) Qaul al-Haq (Maryam:34), ayitu bahasa yang mengandung kebenaran objektif; (11) Al-thayib min Qawl (al-Hajj:24) yaitu bahasa yang baik dan bersih; (12) al-Qawl al-Tsabit (Ibrahim:27), yaitu bahasa yang konsisten; (13) Qawlu rasuli karim (al-Taqwir:19), yaitu bahasa utusan yang mulia; dan (14) Qawl fashl (at-Thariq:13), yaitu bahasa yang analitik.

Macam-macam bahasa lisan tersebut adalah sebagai penjabaran dari ahsanu qawla.Sementara dari Syukriadi Sambas, ada metode hiwar (dialog) dan dari Ya’qub dan metode khitabah dari Al-Khuly, sebagai bentuk penyampaian pesan melalui bahasa lisan yang baik dalam bentuk nasihat atau bentuk lainnya dihadapan mursyad bih (mad’u) yang berlangsung secara tatap muka dalam suasana dialogis dengan tujuan menggugah kesadaran kalbu mad’u atas segala tugas kehambaan dan kekhalifahannya, dan membantu pemecahan problema kehidupan mental dan sosial mursyad bih (mad’u).

Tampaknya perlu dipahami bahwa ahsanu qaulan dan khithabah dalam bimbingan berbeda dengan tabligh (difusi), karena ahsanu qaulan dan khitabah dalam irsyad berbentuk hiwar (dialog) hingga bersifat dialogis (two way communication) melalui komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) sedangkan ahsanu qaulan dan khitabah dalam tabligh bersifat monologis (one way communication) melalui komunikasi publik (public speaking).

Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut di atas, jelas menjadi perlu bagi seorang pembimbing (mursyid) memahami konsep dan memiliki keterampilan komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), karena kualitas pemahaman dan keterampilan komunikasi antarpribadi akan sangat berpengaruh dalam menciptakan suasana keakraban, kepuasan dan kepercayaan seorang mursyad bih, lebih dari itu untuk dapat menyingkapkan diri mursyad bih sebagai salah satu proses diagnosis terhadap permasalahan yang sedang dialami mursyad bih, yang nantinya dijadikan bekal untuk dan dalam proses pemberian solusi atau bekal untuk melakukan terapi (syifa).

Selain alasan-alasan tersebut di atas, mengenai mengapa komunikasi antarpribadi yang dijadikan alat dalam bimbingan Islam adalah karena adanya alasan fungsional, yaitu bahwa komunikasi antarpribadi dalam proses bimbingan berfungsi sebagai berikut: (1) melalui komunikasi interpersonal kita berusaha memenuhi kebutuhan sosial atau psikologis mursyad bih; (2) melalui komunikasi interpersonal kita mengambangkan kesadaran diri mursyad bih; (3) melalui komunikasi kita mengkonfirmasikan tentang siapa dan apa diri mursyad bih; (4) melalui komunikasi interpersonal kita menetapkan hubungan kita dengan mursyad bih: (5) melalui komunikasi interpersonal kita memperoleh informasi mengenai mursyad bih; dan (6) melalui komunikasi interpersonal kita dapat mempengaruhi mursyad bih.

Selain itu, penetapan komunikasi antarpribadi dalam proses bimbingan Islam didasarkan pada beberapa prinsip dalam jenis komunikasi tersebut, paling tidak adalah: (1) komunikasi interpersonal bersifat relasional, (2) komunikasi interpersonal mengandung maksud tertentu, (3) komunikasi interpersonal berlangsung terus-menerus, (4) pesan komunikasi interpersonal berubah-ubah dalam proses enkoding secara sadar.

Demikian beberapa penjelasan tentang peran ilmu komunikasi dalam membangun komunikasi yang efektif dalam proses bimbingan Islam. Wallahua’lam
Penulis, Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Bandung.

0 Comments:

Post a Comment