17 November 2009

Oleh SITTA R MUSLIMAH

AUTISME berasal dari kata “auto” yang berarti berdiri sendiri. Istilah ini mulai diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943, karena saat itu ia melihat anak autisme yang berperilaku aneh, terlihat acuh dengan lingkungan dan cenderung menyendiri seakan hidup dalam dunia yang berbeda (www.dikdasmen-depdiknas.com).

Perilaku tersebut lebih banyak timbul diakibatkan oleh Gangguan Spektrum Autisme (GSA) yang diderita seorang anak. GSA adalah suatu gangguan kompleks yang secara klinis ditandai oleh adanya 3 gejala utama. Diantaranya: memiliki kualitas yang kurang dalam interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam berkomunikasi dengan minat yang terbatas, dan perilaku tidak wajar disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipik).


Dalam hal ini, autisme atau biasa disebut ASD (Autistic Spectrum Disorder) merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat bervariasi. Biasanya gangguan tersebut akan berdampak pada cara berkomunikasi yang terhambat, interaksi sosial yang tidak harmonis dan kemampuan berimajinasi yang egosentris.

Autisme adalah sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak-kanak hingga masa-masa sesudahnya.
Ironisnya sindrom tersebut membuat anak-anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004). Dari pengertian ini, yang dimaksud dengan autisme adalah sekumpulan gejala klinis atau sindrom yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang sangat bervariasi dan berkaitan satu sama lain serta bisa memengaruhi cara seseorang dalam berkomunikasi, bereaksi, dan bertingkah laku.
Jangan tergesa-gesa

Agar kita tidak terjebak pada keputusan yang tergesa-gesa ketika menentukan kondisi seorang anak, apakah mengidap gejala autisme ataukah tidak, perlu kiranya jika mengenal karakteristik perilaku autisme terlebih dulu. Sebab, tanpa memiliki bekal yang cukup tentang karakteristik perilaku autisme, disinyalir akan menghasilkan keputusan yang tidak tepat dan tidak akurat. Alhasil, langkah penanggulangan secara praktis akan terganggu, bahkan dapat mengakibatkan ketidaktepatan langkah terapi sehingga membahayakan perkembangan jiwa anak.

Sepanjang sejarah, dapat kita temukan berbagai deskripsi dari karakteristik perilaku
Gangguan Spektrum Autisme (GSA) ini. Misalnya, Leo Kanner (1943) menuliskan enam ciri utama perilaku anak-anak autisme sebagai berikut: 1). Ketidakmampuan menjalin hubungan sosial, 2). Kegagalan menggunakan bahasa secara normal untuk berkomunikasi, 3). Keinginan obsesif untuk mempertahankan sesuatu yang sama, 4). Terpesona atau sangat tertarik pada objek-objek tertentu, 5). Mempunyai potensi kognitif yang baik, dan 6). Ciri-ciri tersebut tampak sebelum anak berusia 30 bulan (Yuniar, 2003).

Penyandang autisme akan menunjukkan karakteristik seperti: tidak mengerti akan bahaya bagi diri sendiri, tahan terhadap sakit, bermain secara aneh dan berulang-ulang, menghindari kontak mata, lebih senang sendirian, sulit menyatakan keinginan, lekat pada benda-benda tertentu, tidak mau dirubah rutinitasnya, membeo kata atau kalimat, tidak berespon terhadap suara, suka memutar-mutar benda atau diri. Selain itu, memiliki kesulitan berhubungan dengan orang lain, duduk sambil menggoyang-goyangkan badan secara ritmis, berputar-putar, mengepak-ngepakkan tangannya seperti sayap, bertepuk tangan secara berulang-ulang (obsesif), suka bermain air, memperhatikan benda-benda yang berputar, berlompat-lompat, mengamuk dan menangis tanpa sebab.

Faktor Penyebab

Penyebab terjadinya autisme belum diketahui secara pasti, yang masih dalam taraf perdebatan para ahli diantaranya adalah akibat dari perlakuan orang tua di masa kanak-kanak. Peyebab ini diperkuat dengan penelitian dr. Leo Kanner pada tahun 40-an yang menyimpulkan bahwa orang tua dari anak pengidap autisme ternyata kurang memiliki rasa kasih sayang, keakraban, kehangatan dalam membesarkan dan mengasuh anaknya.

Penyebab lainnya seperti yang disimpulkan para ahli bahwa bibit autisme telah ada jauh hari sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Menurut Rudy Sutadi, spesialis anak dari Terapi Kid Autis, kerusakan saraf otak muncul karena banyak faktor yang melatarbelakanginya termasuk masalah genetik dan faktor lingkungan (www.pd.persi.com).

Maka, ada dua tipe dasar autisme yaitu: Pertama, autisme klasik. Manakala kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir karena sewaktu mengandung, ibunya terinfeksi virus seperi rubella atau unsur-unsur terpeper logam berat berbahaya seperi merkuri dan timah, yang bisa mengacaukan pembentukan sel-sel saraf di otak janin.

Kedua, autisme regresif. Muncul saat anak berusia antara 12-24 bulan, misalnya: sebelumnya perkembangan anak normal namun secara tiba-tiba saat usia anak menginjak 2 tahun kemampuannya menurun drastis (McCandless, 2003). Jika sebelumnya sudah dapat membuat kalimat 2-3 kata, berubah menjadi pendiam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak mau melakukan kontak mata dengan orang lain.

Last but not least, setelah tergambarkan karakteristik perilaku autisme dan mengetahui faktor penyebabnya, langkah selanjutnya adalah melakukan penanganan segera. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa tahapan yakni: deteksi dini, partisipasi aktif keluarga, dan menentukan corak terapi yang digunakan dalam upaya penanganan tersebut. ***

Penulis, Pengajar Honorer Swasta serta Terapis di Yayasan SOLALIN Bandung.

0 Comments:

Post a Comment